OPINI - Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun gunung. Kali ini bukan untuk kampanye. SBY konferensi pers dengan amarah yang meledak. Mantan Menkopolhukamnya Megawati ini terluka terlalu dalam ketika putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tidak diambil sebagai cawapres Anies Baswedan. Tepatnya, tidak disepakati oleh Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Suaranya tidak quorum, karena Nasdem menolak. Bukan menolak, tapi cari yang lain dulu sebelum ke AHY. Kalau gak ada, baru AHY sebagai alternatif terakhir. Pasalnya, berpasangan dengan AHY, Tim Anies harus bekerja super extra untuk menang. Karena pemilih Anies dan AHY beririsan. Satu kantong suara.
AHY juga belum punya rekam jejak di pemerintahan. Idealnya, AHY jadi menteri dulu baru cawapres. Sehingga tidak ada kesan hanya semata-mata memburu jabatan karena minus pengalaman.
Sampai pada waktunya "Good News" tiba, kata Sudirman Said. Juru bicara tim 8. Ditemukanlah Muhaimin Iskandar. Cak Imin, panggilan akrab Muhaimin Iskandar merapat ke kubu Anies. Tumbu ketemu tutup. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Inilah momen yang ditunggu-tunggu. Anies Baswedan butuh sosok NU dari Jatim. Ketemulah Cak Imin. Cak Imin butuh posisi sebagai capres, ketemulah Anies. Gak pakai lama, Cak Imin langsung dipinang oleh Surya Paloh.
Anies dipanggil oleh Surya Paloh. Datang, tapi cuma sebentar. Untuk menjaga etika, Anies minta ijin ke anggota partai koalisi. Sowan ke Habib Salim Al-Jufri, ketua Majlis Syura PKS. Anies diterima dan Habib Salim setuju Anies-Cak Imin.
Anies menghubungi pimpinan Demokrat. Tidak direspon. Pakai surat, tidak ada respon juga, kata Sudirman Said. Tahu-tahu, kemarahan Demokrat muncul ke publik. Medsos malam itu ramainya bukan main. Isinya tentang edaran surat dari partai Demokrat. Banyak yang menduga, ini seperti sudah direncanakan. Benarkah?
Dari kronologi ini, publik mulai bertanya-tanya. Apakah kemarahan SBY itu beneran? Atau hanya memanfaatkan momentum untuk exit dari koalisi Anies? Atau ingin menaikkan daya tawar ke bakal capres lain? Inilah sejumlah pertanyaan yang muncul di benak publik.
Baca juga:
Tony Rosyid: Iwan Fals Inginkan Perubahan
|
Pertanyaan ini sangat beralasan: pertama, diantara tiga partai koalisi, hanya Demokrat yang memaksakan ketumnya jadi cawapres Anies Baswedan. Demokrat mengunci Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Demokrat memanfaatkan kursi Nasdem dan PKS yang tidak cukup untuk mengusung capres, maka KPP ia sandra. Demokrat berpikir, tanpa Demokrat KPP tidak bisa melaju dan koalisi bubar. KPP diberikan hanya satu pilihan yaitu terima AHY sebagai cawapres. Kalau tidak? Demokrat exit.
Demokrat tidak pernah serius menyerahkan cawapres kepada Anies sebagai capres. Bagi Demokrat, cawapres ya AHY. Ambil orang lain, Demokrat mundur. Karena itu, Demokrat mendesak Anies untuk segera umumkan pasangan capres-cawapres yang tidak lain adalah Anies-AHY.
Dari sini, kita bisa membaca fakta siapa sesungguhnya yang berkhianat. Kalau memang bahasa berkhianat itu mau digunakan dalam relasi politik Demokrat-KPP.
Kedua, hanya Demokrat yang rajin menyerang anggota partai koalisi. Dalam hal ini Nasdem. Kata "berkhianat" sudah lama diginakan oleh Demokrat . Karena sudah beberapa kali muncul sebelum nama Muhaimin Iskandar, atau Cak Imin dipasangkan dengan Anies Baswedan.
Baca juga:
PPP Konsisten Perjuangkan Sandiaga Cawapres
|
Ketiga, rumornya ada elit Demokrat telah secara intens menjalin komunikasi dengan pihak lawan. Malah kabarnya sudah ada deal-deal dengan kandidat lain. Benar tidaknya informasi ini, sejarah nanti yang akan membukanya.
Keempat, ketika Cak Imin bertemu Surya Paloh, tidak banyak pihak yang tahu dan belum masuk ke radar publik, sudah beredar serangan Demokrat ke Anies dan Nasdem. Begitu cepat info ini menyebar. Publik mengetahui perjodohan Anies-Cak Imin justru dari Demokrat.
Etikanya, persolan ini mestinya diselesaikan di internal partai-partai koalisi dan tim 8. Jika deadlock, baru ada sikap. Terkesan Demokrat membuat sikap yang super cepat sebelum masalah ini diselesaikan di internal tim 8. Sikap "super cepat" Demokrat menjadi janggal dan justru dipertanyakan.
Semua sudah berlalu, dan Demokrat telah ambil sikap "exit" dari KPP. Meski sikap ini disayangkan, karena justru akan menurunkan daya tawar Demokrat di koalisi manapun. Di Ganjar, ada PDIP dan PPP. Lebih dari cukup untuk tiket maju pilpres. Secara elektoral, masuknya Demokrat ke Ganjar tidak banyak memberi tambahan suara.
Demokrat ke Prabowo? Di situ sudah ada Gerindra, Golkar dan PAN. Lebih dari cukup untuk tiket maju di pilpres. Walaupun Airlangga dari Golkar dan Erick Tohir mewakili PAN sedang memperebutkan tiket Cawapresnya Prabowo.
Lalu, kemana Demokrat akan berlabuh? Anda bisa tanya ke SBY. Hanya SBY pemilik kekuasaan di Demokrat.
Jakarta, 6 September 2023
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa